bdadinfo.com

Kebangkitan Industri Manufaktur Indonesia: Strategi Menuju Indonesia Emas 2045 - News

Kawasan Industri ExxonMobil

- Indonesia, negeri yang diberkahi dengan kekayaan sumber daya alam yang melimpah, pernah menikmati masa keemasan industri manufaktur pada era Orde Baru. Pada dekade 1990-an, sektor ini memberikan kontribusi yang signifikan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), dengan pertumbuhan ekonomi mencapai 8%. Namun, krisis ekonomi 1998 menjadi titik balik yang menyebabkan deindustrialisasi, di mana fokus ekonomi beralih kembali ke eksploitasi sumber daya alam mentah seperti batu bara dan kelapa sawit.

Pentingnya Hilirisasi dalam Mendorong Manufaktur Berbasis Sumber Daya Alam

Dalam acara Mindialogue: Hilirisasi dan Industrialisasi Strategi Menuju Indonesia Emas 2045 yang diadakan pada 9 Januari 2025, Penasihat Khusus Presiden bidang Ekonomi dan Pembangunan Nasional serta mantan Menteri Keuangan, Bambang Brodjonegoro, menyoroti pentingnya hilirisasi untuk mendorong manufaktur berbasis sumber daya alam. "Manufaktur kita dulu mengandalkan tekstil, garmen, makanan, dan elektronik. Namun, industri padat karya seperti itu sulit bersaing dengan Bangladesh. Solusi kita adalah manufaktur berbasis sumber daya alam untuk menciptakan nilai tambah," jelas Bambang.

Bambang menambahkan bahwa keberhasilan hilirisasi hingga smelter belum cukup, karena belum mampu mengangkat daya saing secara signifikan. "Kita butuh hilirisasi yang lebih hilir, seperti baterai EV dari nikel, atau memanfaatkan tembaga seperti yang dilakukan Chile," ungkapnya. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa kontribusi dan pertumbuhan sektor manufaktur Indonesia terus merosot. Di awal reformasi, kontribusi sektor manufaktur ke PDB masih mencapai 26,11% pada 2011, sementara pada 2023 hanya 18,67%. Pertumbuhannya juga terus melandai dari sekitar 6% pada 2011 menjadi 4% pada akhir 2023.

Menuju Indonesia Emas 2045: Strategi dan Harapan

Menuju Indonesia Emas 2045, hilirisasi sumber daya alam, inovasi, dan perbaikan iklim investasi menjadi strategi utama untuk membawa Indonesia keluar dari middle-income trap. Bambang optimistis bahwa hilirisasi dapat menjadi pintu masuk re-industrialisasi yang lebih luas. "Hilirisasi bisa jadi pemantik. Kita harus berpikir lebih maju, bukan hanya berhenti di smelter, tetapi menciptakan produk akhir dengan nilai tambah tinggi," pungkasnya.

Dukungan dan Pembelajaran dari Negara Lain

Dalam kesempatan yang sama, mantan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Bappenas era Presiden Joko Widodo, Andrinof Chaniago, mendukung langkah hilirisasi sumber daya alam. Ia menekankan bahwa industrialisasi juga harus dilakukan. Dia mengingatkan bahwa untuk mencapai target pemerintahan Presiden Prabowo Subianto sebesar 8%, dibutuhkan pertumbuhan industri yang lebih tinggi. "Kita tidak mungkin menaikkan pertumbuhan ekonomi di atas 5% kalau industri seperti sekarang hanya tumbuh 4,5%," jelasnya.

Andrinof juga menyarankan agar Indonesia belajar dari Vietnam dan India. Meskipun ada perbedaan sistem politik dengan Vietnam, dan India memiliki sistem politik yang sama, kedua negara tersebut mampu tumbuh jauh lebih tinggi dibandingkan Indonesia. Keunggulan kedua negara itu salah satunya adalah industri yang solid dan sumber daya manusia yang berkualitas. Keduanya bisa menjadi kunci dalam membangkitkan kembali hilirisasi di Indonesia.

Dengan strategi yang tepat dan pembelajaran dari negara lain, Indonesia memiliki potensi besar untuk menghidupkan kembali sektor manufaktur dan mencapai visi Indonesia Emas 2045. Hilirisasi sumber daya alam, inovasi, dan peningkatan kualitas sumber daya manusia menjadi kunci utama dalam mewujudkan tujuan tersebut.***

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat