- Silek Minangkabau adalah salah satu warisan budaya yang sarat dengan nilai filosofi dan etika, diwariskan dari generasi ke generasi di tanah Minang.
Namun, perkembangan zaman dan pengaruh budaya asing kerap menempatkan seni tradisi ini di ambang kepunahan.
Seiring dengan modernisasi, banyak pihak mulai menganggap silek sebagai sesuatu yang kuno dan tidak relevan lagi dengan kehidupan masa kini.
Baca Juga: Website Lemot? Tingkatkan Kecepatan dengan Hosting Terbaik di Sini!
Lantas, bagaimana kita bisa menjaga dan melestarikan silek agar tidak hilang ditelan zaman?
Silek Minangkabau bukan sekadar seni bela diri, tetapi sebuah "living tradition" yang hidup dan berkembang seiring perubahan zaman.
Gerakan silek bersifat dinamis dan lentur, tidak kaku dalam satu pola, tetapi tetap berpegang pada nilai-nilai esensialnya.
Dalam budaya Minang, silek bukan hanya tentang kekuatan fisik, tetapi juga memiliki dimensi etika dan intelektual yang dalam, seperti nilai "alam takambang jadi guru" (alam yang terbentang luas adalah guru).
Sejak dahulu, silek diajarkan di Surau—sebuah lembaga pendidikan tradisional yang tak hanya mengajarkan agama, tetapi juga menjadi tempat anak-anak Minang belajar bela diri.
Budaya Surau telah melahirkan banyak pendekar silek yang memahami nilai-nilai kehidupan, seperti kejujuran, kedisiplinan, dan keteguhan hati.
Namun, saat ini, para tetua silek di kampung-kampung sudah semakin sedikit. Banyak generasi muda yang tak lagi tertarik untuk belajar silek, lebih memilih budaya modern dan meninggalkan tradisi.
Kekhawatiran ini semakin diperparah oleh tidak adanya kurikulum formal yang memasukkan silek dalam pendidikan dasar di Sumatera Barat, padahal banyak anak-anak yang berpotensi menjadi penerus tradisi ini.