bdadinfo.com

Menelaah Fenomena Autocratic Legalism yang Dinilai Sudah Melanda Indonesia - News

Ilustrasi (Pixabay)




- Literatur politik dan hukum tata negara saat ini mencatat bahwa ‘autocratic legalism’ sedang menjadi trend global. Fenomena yang sama, disinyalir oleh para pengamat hukum Indonesia juga terjadi di Indonesia.

Autocratic legalism atau legalisme otokratis menurut Kim Scheppele adalah sebuah fenomena yang mana pemimpin terpilih dan berkuasa melakukan perubahan-perubahan konstitusional dan hukum untuk kepentingan agenda yang tidak demokratis.

Fenomena autocratic legalism yang sedang melanda hampir di seluruh dunia ini merupakan buah tangan dari generasi baru yang tahu cara memainkan sistem.

Para otokrat pintar tersebut berupaya untuk membajak negara-negara yang menganut demokrasi konstitusional dengan melahirkan produk-produk hukum.

Cara yang digunakan itu konstitusionalisme dan demokratis, namun tujuannya adalah untuk menghancurkan keduanya.

Baca Juga: Sony Luncurkan Stik PS 5 Khusus Penyandang Disabilitas

Disaat kepercayaan publik terhadap lembaga dan institusi publik terus terjadi, mereka malah mendapatkan dan memanfaatkan hal tersebut menjadi keuntungan.

Upaya yang dilakukan oleh para otokrat tersebut adalah mengkonsolidasikan kekuasaan dan mempertahankan kekuasaan kemudian menyerang prinsip-prinsip dasar dari konstitusional liberal dan demokratis tersebut.

Langkah awalnya adalah serangan yang terencana oleh penguasa terhadap institusi-institusi yang tugasnya mengawasi kekuasaan. Setelah semua batasan konstitusional dilonggarkan, penguasa akan dengan mudah menggunakan instrumen hukum sehingga tindakannya seakan-akan benar, padahal sebenarnya sudah melanggar prinsip negara hukum, bahkan ke arah otoritarianisme (Scheppele,2018)

Bivitri Susanti dalam tulisannya yang berjudul Otoritarianisme Berbungkus Hukum yang di publish media kedaipena.com, Kamis 5 januari 2023 menyebutkan di Indonesia ada empat institusi pengawas yang sudah dilemahkan.

Pertama, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang sudah dilemahkan dan dipolitisasi sejak diberlakukan Undang-Undang KPK yang direvisi pada tahun 2019.

Kedua, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dilemahkan dengan perekrutan anggota kabinet kepemimpinan presiden secara legal yang akhirnya menciptakan koalisi gendut.

Ketiga,  Masyarakat sipil yang dilemahkan dengan cara-cara yang legal, serangan fisik, maupun melalui perkembangan teknologi seperti peretasan dan doxing.

Terakhir, lembaga keempat yang diserang adalah Mahkamah Konstitusi, independensi dari MK diserang dengan mengganti hakim MK ditengah jalan, langkah ini juga akan dilegalkan dengan revisi UU MK yang akan segera dibahas.

Zahlul Pasha Karim, Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Ar-Raniry Banda Aceh dalam tulisannya yang berjudul ‘Penundaan Pemilu dan Godaan Legalisme Otokratis yang dimuat di media alif.id, Kamis 14 April 2022 menjelaskan cara mengenali pemimpin yang telah menjadi legalis otokratis.

“Diantarnya adalah dengan kebijakannya yang berupaya menyerang institusi yang tugasnya adalah untuk memeriksa tindakannya atau menghapus aturan yang meminta pertanggungjawabannya, terlebih hal itu dilakukan atas nama demokrasi,” tulis Zahlul Pasha Karim.

“Pada akhirnya, melalui kekuasaan eksekutif, otokrat legalistik melakukan reformasi hukum yang pada akhirnya melahirkan apa yang disebut Stephen Cody dengan dark law (hukum gelap),” tambahnya.

Lahirnya hukum gelap tersebut merupakan bentuk dari padunya politik otokratis, ketidakjelasan undang-undang, dan penghormatan yudisial.

Hal tersebut merupakan ancaman terhadap demokrasi, namun khalayak umum dipersulit untuk membaca dan melihat serangan otokratis yang telah terkonsolidasi pada kekuasaan negara.

Perdana Menteri Hungaria, Victor Orban, pernah melahirkan kebijakan yang merujuk pada konsep autocratic legalism.

Dari awal Orban berkuasa, dia mulai menyerang independensi lembaga-lembaga seperti peradilan, pers, kantor kejaksaan, otoritas pajak hingga komisi pemilihan umum.

Tak hanya itu, dalam waktu tiga tahun ia berhasil menyerang Mahkamah Konstitusi untuk dikuasai, kemudian lembaga-lembaga tersebut diisi oleh loyalis-loyalis partai, mencopot oposisi, dan pakar-pakar apolitis dari lembaga publik, kemudian memperpanjang masa jabatan yang berdampak pada kebijakan pemerintah.

Ketika kekuasaan terkonsolidasi dengan baik, koalisi gendut terbentuk, maka pihak oposisi tidak dapat berbuat apa-apa, karena kekuatannya kalah oleh kekuatan dominan secara konstitusional dan demokratis.

Perlu diingat, cara yang sama tidak hanya dilakukan Perdana Menteri Hungaria, tetapi juga pernah dilakukan oleh Presiden Turki saat ini, Recep Tayyip Erdogan. (*)

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat