bdadinfo.com

Sejarah Singkat 7 Kerajaan Buddha di Indonesia - News

Candi Borobudur, salah satu peninggalan Kerajaan Buddha di Indonesia

Buddhisme merupakan agama yang menyebar di Nusantara sebagai sebuah keyakinan intelektual dan hanya sedikit berkaitan dengan supranatural. Namun dalam prosesnya, kebutuhan politik dan keinginan emosional pribadi untuk terlindung dari bahaya-bahaya di dunia oleh sosok dewika yang kuat, telah menyebabkan modifikasi dalam agama Buddha.
Agama Buddha pertama kali masuk ke Nusantara (sekarang Indonesia) sekitar abad ke-5 Masehi jika dilihat dari penginggalan prasasti-prasasti yang ada. Diduga pertama kali dibawa oleh pengelana dari Tiongkok bernama Fa Hsien. Kerajaan Buddha pertama kali yang berkembang di Nusantara adalah Kerajaan Sriwijaya yang berdiri pada 600 sampai 1377.
Kerajaan Sriwijaya pernah menjadi salah satu pusat pengembangan agama Buddha di Asia Tenggara. Hal ini terlihat melalui catatan seorang sarjana dari Tiongkok bernama I-Tsing, yang melakukan perjalanan ke India dan Nusantara, serta mencatat perkembangan agama Buddha di sana.
Melansir dari Gramedia, berikut sejarah singkat 7 kerajaan Buddha yang pernah ada di Indonesia.
Sejarah Singkat 7 Kerajaan Buddha di Indonesia
1. Kerajaan Kalingga (594 – 782 M)
Kerajaan Kalingga merupakan kerajaan Hindu yang terletak di Jawa Tengah. Pusat Kerajaan Kalingga berada di wilayah Kabupaten Jepara. Kerajaan ini terkenal dipimpin oleh ratu yang bijaksana, yaitu Ratu Shima.
Saat masa kepemimpinan Ratu Shima, ada sebuah peraturan yang terkenal, barang siapa yang mencuri maka akan dipotong tangannya.
2. Kerajaan Sriwijaya (671 – 1377 M)
Kerajaan Sriwijaya merupakan kerajaan yang berada di Pulau Sumatera, tepatnya di Sumatera Selatan. Sriwijaya merupakan sebuah kerajaan maritim yang berada di Sumatra, tetapi kekuasaannya mencapai Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Semenanjung Malaya, Thailand, Kamboja dan lainnya. Sriwijaya berasal dari bahasa Sanskerta, sri yang berarti “bercahaya” dan vijaya yang berarti “kemenangan”.
Salah satu peninggalan dari Kerajaan Sriwijaya adalah Candi Muara Takus dan dianggap telah ada pada zaman keemasan Sriwijaya. Sebagai kerajaan Buddha, Sriwijaya merupakan rumah bagi sarjana Buddha dan menjadi pusat pembelajaran agama Buddha.
Perkembangan agama Buddha di masa Sriwijaya terjadi secara pesat. Menurut laporan I-tsing, agama Buddha memiliki 2 aliran, yaitu Theravada (kadang disebut Hinayana) dan Mahayana. Buddhisme di Sriwijaya selanjutnya mendapat pengaruh dari aliran Vajrayana dari India.
Pesatnya perkembangan agama Buddha di Sriwijaya juga didukung oleh seorang Mahaguru Buddhis di Sriwijaya, yaitu Sakyakirti. Selain Mahaguru Buddhis, Sriwjaya juga memiliki perguruan Buddha yang berhubungan baik dengan Universitas Nalanda, India. Dalam catatan I-tsing ada lebih dari 1.000 pendeta yang belajar Buddhisme di Sriwijaya.
Namun, kerajaan besar ini runtuh. Berikut beberapa penyebab runtuhnya Kerajaan Sriwijaya, antara lain:
1. Serangan dari Dinasti Chola dari Koromandel, India Selatan (1017 dan 1025). Serangan ini berhasil menawan raja Sriwijaya dan kemudian Dinasti Chola menjadi berkuasa atas Kerajaan Sriwijaya.
2. Munculnya Kerajaan Melayu, Dharmasraya yang mengambil alih Semenanjung Malaya dan juga menekan keberadaan Sriwijaya.
3. Perang dengan kerajaan lain seperti Singasari, Majapahit, serta Dharmasraya. Selain sebagai penyebab runtuhnya Sriwijaya, perang ini juga menyebabkan banyak peninggalan Sriwijaya yang rusak atau hilang, sehingga keberadaannya sempat terlupakan selama beberapa abad.

Baca Juga: Sah! Candi Borobudur Sudah Digunakan Umat Hindu Budha untuk Ritual Keagamaan
3. Kerajaan Mataram Kuno (Medang) (752 – 1045 M)
Kerajaan Mataram Kuno (Medang) merupakan kerajaan yang berlokasi di pedalaman Jawa Tengah, di sekitar daerah yang banyak dialiri sungai. Daerah yang dimaksud belum jelas, kemungkinan besar di daerah Kedu sampai sekitar Prambanan (berdasarkan letak prasasti yang ditemukan). Berdasarkan Prasasti Canggal, Kerajaan Medang didirikan oleh Sanjaya, keturunan dari Kerajaan Kalingga dan Kerajaan Galuh.
Masyarakat Mataram Kuno terbilang maju dalam hal budaya, terbukti dengan banyaknya bangunan candi yang dibuat. Dua candi besar dibangun pada masa pemerintahan Kerajaan Mataram Kuno ini, yaitu Candi Borobudur dan Candi Prambanan. Candi Borobudur yang dibuat pada masa pemerintahan Samaratungga dari dinasti Syailendra yang bercorak Budha. Lalu, Candi Prambanan yang dibangun pada masa pemerintahan Rakai Pikatan dan selesai pada masa pemerintahan Daksa dari Dinasti Sanjaya yang bercorak Hindu.
Agama resmi Kerajaan Medang pada masa pemerintahan Sanjaya adalah Hindu aliran Siwa. Ketika wangsa Syailendra berkuasa, agama resmi kerajaan berganti menjadi Budha aliran Mahayana.

Baca Juga: 11 Candi Agama Hindu di Indonesia
4. Kerajaan Kadiri (1045 – 1222 M)
Berdasarkan Prasasti Turun Hyang II (1044) yang dikeluarkan oleh Kerajaan Janggala, kerajaan ini dimulai dengan adanya perang saudara antara kedua putra Airlangga. Pada akhir November 1042, Airlangga terpaksa membelah wilayah kerajaannya karena kedua putranya bersaing memperebutkan takhta. Putra yang bernama Sri Samarawijaya mendapatkan kerajaan barat bernama Panjalu dan pusatnya di kota baru, yaitu Daha. Adapun putranya yang bernama Mapanji Garasakan mendapatkan kerajaan timur bernama Janggala dan pusatnya di kota lama, yaitu Kahuripan.
Nama Panjalu atau Pangjalu adalah nama lain dari Kadiri. Nama ini lebih sering dipakai daripada nama Kadiri. Hal ini dapat dijumpai dalam prasasti-prasasti yang diterbitkan oleh raja-raja Kadiri. Nama Panjalu juga dikenal sebagai Pu-chia-lung dalam kronik Tiongkok berjudul Ling wai tai ta (1178). Nama “Kediri” atau “Kadiri” sendiri berasal dari kata bahasa Sansekerta, khadri, yang berarti pacé atau Morinda citrifolia (mengkudu).
Ketika diperintah oleh Sri Jayabhaya, Panjalu mengalami masa kejayaannya. Wilayah kerajaan ini meliputi seluruh Jawa dan beberapa pulau di Nusantara, bahkan sampai mengalahkan pengaruh Kerajaan Sriwijaya.
Jayabhaya juga dipercaya menulis ramalan dalam tradisi Jawa yang dikenal dengan Jangka Jayabaya atau Ramalan Jayabaya. Ramalan ini dikenal di kalangan masyarakat Jawa dan dilestarikan secara turun-temurun oleh para pujangga.
Asal usul utama Serat Ramalan Jayabaya dapat dilihat di Kitab Musasar yang digubah oleh Sunan Giri Prapen. Sekalipun banyak keraguan keasliannya, tetapi bait pertama kitab tersebut yang menuliskan bahwa Jayabaya yang membuat ramalan-ramalan tersebut.
5. Kerajaan Singhasari (1222 – 1292 M)
Berdasarkan Prasasti Kudadu, nama resmi Kerajaan Singhasari adalah Kerajaan Tumapel. Menurut Nagarakretagama, ibu kota Kerajaan Tumapel bernama Kutaraja ketika pertama kali didirikan tahun 1222.
Pada 1253, Raja Wisnuwardhana awalnya mengangkat putranya yang bernama Kertanagara sebagai yuwaraja (putra mahkota) dan mengganti nama ibu kota kerajaan menjadi Singhasari. Nama Singhasari yang merupakan nama ibu kota kemudian justru lebih terkenal daripada nama Tumapel.
Inilah yang membuat Kerajaan Tumapel pun terkenal pula dengan nama Kerajaan Singhasari. Nama Tumapel juga muncul dalam kronik Tiongkok dari Dinasti Yuan dengan ejaan Tu-ma-pan.
Berdasarkan keterangan di Pararaton, Tumapel awalnya hanya sebuah daerah bawahan Kerajaan Panjalu. Adapun yang menjabat sebagai akuwu (setara camat) Tumapel saat itu adalah Tunggul Ametung. Dia mati dibunuh dengan cara tipu muslihat oleh pengawalnya sendiri yang bernama Ken Arok, yang kemudian menjadi akuwu baru. Ken Arok juga yang mengawini istri Tunggul Ametung yang bernama Ken Dedes. Ken Arok kemudian berniat melepaskan Tumapel dari kekuasaan Kerajaan Kadiri.
Pada 1254, terjadi perseteruan antara Kertajaya, raja Kerajaan Kadiri, dengan kaum brahmana. Para brahmana lalu menggabungkan diri dengan Ken Arok yang mengangkat dirinya menjadi raja pertama Tumapel dengan gelar Sri Rajasa Sang Amurwabhumi. Perang melawan Kerajaan Kadiri meletus di Desa Ganter yang dimenangkan oleh pihak Tumapel.
Nagarakretagama juga menyebut tahun yang sama untuk pendirian Kerajaan Tumapel, tetapi tidak menyebutkan adanya nama Ken Arok. Dalam naskah itu, pendiri kerajaan Tumapel bernama Ranggah Rajasa Sang Girinathaputra yang berhasil mengalahkan Kertajaya raja Kerajaan Kadiri.
Prasasti Mula Malurung atas nama Kertanagara tahun 1255 kemudian menyebutkan jika pendiri Kerajaan Tumapel adalah Bhatara Siwa. Nama ini kemungkinan adalah gelar anumerta dari Ranggah Rajasa, karena dalam Nagarakretagama arwah pendiri Kerajaan Tumapel tersebut dipuja sebagai Siwa.
Selain itu, Pararaton juga menyebutkan bahwa, Ken Arok lebih dulu menggunakan julukan Bhatara Siwa sebelum maju dalam perang melawan Kerajaan Kadiri.
6. Kerajaan Dharmasraya (1183 – 1347 M)
Kemunduran Kerajaan Sriwijaya akibat serangan Rajendra Chola I, telah mengakhiri kekuasaan Wangsa Sailendra atas Pulau Sumatra dan Semenanjung Malaya. Beberapa waktu kemudian, muncul sebuah dinasti baru yang mengambil alih peran Wangsa Sailendra, yaitu Wangsa Mauli.
Prasasti tertua yang pernah ditemukan atas nama raja Mauli adalah Prasasti Grahi tahun 1183 di selatan Thailand. Prasasti itu berisi perintah Maharaja Srimat Trailokyaraja Maulibhusana Warmadewa kepada Bupati Grahi yang bernama Mahasenapati Galanai supaya membuat arca Buddha seberat 1 bhara 2 tula dengan nilai emas 10 tamlin. Sosok yang mengerjakan tugas membuat arca tersebut bernama Mraten Sri Nano.
Prasasti kedua berselang lebih dari satu abad kemudian, yaitu Prasasti Padang Roco tahun 1286. Prasasti ini menyebut Raja Swarnabhumi bernama Maharaja Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa yang mendapat kiriman hadiah Arca Amoghapasa dari Raja Kertanagara, raja Singasari di Pulau Jawa. Arca tersebut kemudian diletakkan di Dharmasraya.
Dharmasraya dalam Pararaton merupakan ibu kota dari negeri bhūmi mālayu. Dengan demikian, Tribhuwanaraja dapat pula disebut sebagai raja Malayu. Tribhuwanaraja sendiri kemungkinan besar adalah keturunan dari Trailokyaraja. Oleh karena itu, Trailokyaraja pun bisa juga dianggap sebagai raja Malayu, meskipun Prasasti Grahi tidak menyebutnya dengan jelas.
Berdasarkan Kidung Panji Wijayakrama dan Pararaton, disebutkan bahwa Kertanagara mengirimkan utusan dari Jawa ke Sumatra pada 1275 yang dikenal dengan nama Ekspedisi Pamalayu. Ekspedisi ini dipimpin oleh Mahisa Anabrang atau Kebo Anabrang.
Kertanagara pada 1286 kemudian kembali mengirimkan utusan untuk mengantarkan Arca Amoghapasa, yang kemudian dipahatkan di Prasasti Padang Roco. Tim ekspedisi tersebut kembali ke Pulau Jawa pada 1293 dengan membawa dua orang putri dari Kerajaan Melayu yang bernama Dara Petak dan Dara Jingga.
Dara Petak kemudian dinikahi oleh Raden Wijaya, yang telah menjadi raja Majapahit dan menggantikan Singasari. Melalui pernikahan ini, lahirlah Jayanagara, raja kedua Majapahit. Adapun Dara Jingga dinikahi oleh sira alaki dewa (orang yang bergelar dewa) dan kemudian melahirkan Tuan Janaka atau Mantrolot Warmadewa yang identik dengan Adityawarman. Kelak, Adityawarman menjadi Tuan Surawasa (Suruaso) berdasarkan Prasasti Batusangkar yang berada di pedalaman Minangkabau.
7. Kerajaan Majapahit (1293 – 1500 M)
Majapahit adalah sebuah kerajaan kuno di Indonesia yang pernah berdiri dari sekitar tahun 1293 hingga 1500 M. Kerajaan ini mencapai puncak kejayaan pada masa kekuasaan Hayam Wuruk yang berkuasa dari tahun 1350 hingga 1389. Kerajaan Majapahit adalah kerajaan Hindu-Buddha terakhir yang menguasai Semenanjung Malaya dan dianggap sebagai salah satu dari negara terbesar dalam sejarah Indonesia.
Majapahit banyak meninggalkan tempat-tempat suci, sisa-sisa sarana ritual keagamaan masa itu. Bangunan-bangunan suci ini dikenal dengan nama candi, pemandian suci (pertirtan) dan gua-gua pertapaan. Bangunan-bangunan yang ditinggalkan tersebut kebanyakan beraliran agama Siwa dan sedikit yang bersifat agama Buddha, yaitu lain Candi Jago, Bhayalangu, Sanggrahan, dan Jabung. Peninggalan lain dari kerajaan ini adalah Kakawin Nagarakretagama, Arjunawijaya, dan Sutasoma.
Candi Jabung merupakan salah satu peninggalan Kerajaan Majapahit.
Berdasarkan sumber tertulis, raja-raja Majapahit umumnya beragama Siwa dari aliran Siwasiddhanta, kecuali Tribuwanattungadewi (ibunda Hayam Wuruk) yang beragama Buddha Mahayana. Namun demikian, agama Siwa dan agama Buddha tetap menjadi agama resmi kerajaan hingga akhir tahun 1447.
Pada masa pemerintahan Raden Wijaya (Kertarajasa), terdapat dua pejabat resmi keagamaan tinggi Siwa dan Buddha, yaitu Dharmadyaksa ring Kasiwan dan Dharmadyaksa ring Kasogatan, kemudian lima pejabat Siwa di bawahnya yang disebut Dharmapapati atau Dharmadihikarana.
Pada zaman Majapahit, ada dua buku yang menguraikan ajaran Buddhisme Mahayana, yaitu Sanghyang Kamahayanan Mantrayana yang berisi mengenai ajaran yang ditujukan kepada biksu yang sedang ditahbiskan, serta Sanghyang Kamahayanikan yang berisi mengenai kumpulan pengajaran bagi seseorang untuk dapat mencapai pelepasan.

Baca Juga: Sejarah Singkat 7 Kerajaan Hindu di Indonesia
Berikut sejarah singkat dari kerajaan-kerajaan di Buddha. Kejayaan setiap kerajaan yang tertulis di atas diharapkan dapat dijadikan sebagai sarana kita dalam merefleksikan diri untuk menjadi negara yang lebih baik dan mencapai kejayaan seperti nenek moyang kita sebelumnya.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat