HARIANHALUAN. COM - Penentu status sosial hari ini bukan lagi digit saldo di rekening melainkan brend yang melekat di tubuh manusia.
Kaya atau tidaknya seseorang sekarang ini sangat sulit dibedakan lantaran pakaian, sepatu, tas, perhiasan dan barang lainya dari brend ternama mau itu asli atau palsu, maka dari itu untuk memenuhi kebutuhan branded banyak yang rela ngutang.
Perilaku ini membuat seseorang semakin terobsesi untuk terlihat kaya demi menaikan gengsi dan status sosial mereka.
Baca Juga: Lindungi Konsumen, Disperdakop Padang Panjang Gelar Pekan Tera Ulang UTTP
Dilansir oleh Harianhaluan dari kanal YouTube Coach Yudi Candra, 15/10/2023, Dengan memakai barang branded atau barang mewah seseorang akan meresa berkuasa, seperior dan spesial.
Memakai barang dari brand mewah maka tingkat percaya diri akan meningkat karna terasosiasi kedalam brend tersebut disaat seseorang yang sering memakai brend mewah kemudian tidak memakainya merasa ada yang kurang dan tidak percaya diri bertemu orang lain.
Barang branded tersebut tidak hanya dimiliki oleh orang kaya namun orang kalangan menengah kebawah juga sangat tergila-gila brended.
Baca Juga: Perbandingan Kualitas dan Desain Tas Fendi vs Hermes: Menentukan Mana yang Lebih Elegant?
Barang - barang Branded yang dipakai bukan hanya barang baru melainkan barang second atau trifting bahkan barang tiruan.
Orang - orang yang tergila - gila barang Brended umumnya membeli karna kualitas material dari brend tersebut, lebih stylish dan bisa mendongkrak popularitas karna memakai brend.
Brend luxury yang paling banyak diminati adalah brend dari Eropa dan Amerika Serikat, walaupun harga selangit namun peminat brend tersebut tetap meningkat bahkan untuk mendapatkan satu koleksinya harus merogoh kocek ratusan hingga milyaran.
Brend luxury yang sangat digemari oleh orang Indonesia adalah Gucci, Channel, Dior Louis Vuitton, Tiffany and co, Cartier, nike, Adidas, H&M , Balenciaga, Zara , Uniglo dan Coach. Kecanduan Barang Brended tersebut membuat seseorang ingin mengoleksi, membeli bukan karna butuh melainkan untuk memenuhi keinginan, sikap seperti ini dapat menimbulkan masalah keuangan yang fatal.
Sebagian orang merasa tidak masalah dengan menghamburkan ughang untuk brend yang dicintainya demi menaikan like dan pujian di sosial media bahkan dunia nyata.