bdadinfo.com

Terdampar Lagi di Aceh, Ini Dia Asal-Usul Imigran Rohingya dan Sejarahnya - News

Terdampar Lagi di Aceh, Ini Dia Asal-Usul Imigran Rohingya dan Sejarahnya





- Pada hari Minggu, 9 Januari 2023 sebanyak 184 imigran Rohingya terdampar lagi di Pantai Kuala Gigeng, Krueng Raya, Kabupaten Aceh Besar.

Dilansir dari tribatanews.aceh.polri.go.id bahwa hasil perhitungan bersama yang disaksikan pihak UNHCR, IOM, TNI, dan Instansi terkait lainnya, jumlah mereka yang terdampar adalah 184 orang yang terdiri dari 69 orang laki-laki dewasa, 75 orang perempuan dewasa, dan 40 orang anak-anak.

Saat ini, seluruh imigran Rohingya di evakuasi ke pengungsian UPTD Dinas Sosial di Ladong yang nantinya akan dilanjutkan penanganannya oleh BPBD, Imigrasi, dan Dinsos, serta instansi terkait lainnya.

Lalu siapa itu Imigran Rohingya?

Rohingya adalah istilah yang berasal dari kata Rohai atau Roshangee yang artinya adalah penduduk muslim Rohang atau Roshang. Rohang atau Roshang sendiri nama dari sebuah daerah yang sekarang disebut dengan Arakan.

Untuk lebih jelasnya, Rohingya adalah nama yang digunakan untuk komunitas muslim yang berada di wilayah Arakan yang terletak di Myanmar Barat dan berbatasan dengan Bangladesh. Penduduk Rohingya adalah kaum minoritas yang menggunakan bahasa Indo-Eropa yang mirip dengan bahasa Bengali. Penduduk Rohingya ini berjumlah 1,33 juta orang.

Baca Juga: Kronologi Residivis Narkoba Sekaligus Pelaku Pembacokan Warga Lukai Polisi Menggunakan Sajam saat Ditangkap

Walaupun para ahli sejarah dan Organisasi Nasional Rohingya Arakan mengatakan bahwa penduduk Rohingya adalah penduduk asli negara bagian Rakhine yang berarti masih menjadi penduduk asli Myanmar. Namun, Myanmar tidak mengakui bahwa penduduk atau kaum Rohingya adalah bagian dari Myanmar.

Alasan presiden Myanmar tidak mengakui Rohingya sebagai penduduk asli Myanmar adalah karena kaum Rohingya dianggap sebagai penduduk asli Bangladesh. Alasan tersebut didasari dari kaum ini yang menggunakan bahasa yang mirip dengan ‘Bengali’ atau orang Bangladesh.

Maka dari itu, presiden Myanmar mengambil keputusan untuk mendeportasi kaum Rohingya bahkan tidak menyetujui bahwa kaum tersebut menggunakan istilah ‘Rohingya’.

Untuk diakui sebagai penduduk asli Myanmar, kaum Rohingya diharuskan untuk memberikan dokumen yang membuktikan bahwa nenek moyang mereka hidup di Myanmar sesuai dengan undang-undang yang dikeluarkan oleh presiden pada tahun 1982.

Namun malangnya, kaum Rohingya tidak memiliki dokumen yang dapat membuktikan bahwa leluhur mereka adalah penduduk asli Myanmar. Dengan begitu, penindasan akan kaum Rohingya semakin tidak dapat dihindarkan.

Melansir dari penelitian ‘Sejarah Konflik Rohingya’ yang dipublikasikan oleh Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, konflik yang sering terjadi disebabkan oleh adanya ketimpangan ekonomi, agama, superioritas etnis, dan kebijakan-kebijakan pemerintah.

Situasi terberat yang dialami oleh kaum Rohingya terjadi pada pada masa Rezim Militer, mulai dari era Ne Win hingga tahun 2000 yang disebabkan oleh diskriminasi besar-besaran yang dilakukan oleh pemerintah Myanmar.

Sejumlah tanah milik kaum Rohingya juga disita secara paksa oleh pemerintah demi untuk membangun ‘model village’ yaitu suatu perumahan yang dibangun khusus untuk orang-orang Buddha dari etnis Burma yang nantinya membuat etnis tersebut menempati daerah yang ditinggali oleh muslim Rohingya.

Selain itu, pemerintah Myanmar juga mengganti tempat ibadah kaum Rohingya dengan monumen bersejarah dan peninggalan Buddha seperti biara, pagoda Buddha dan asrama untuk para biksu.

Konflik akhirnya memuncak pada bulan Juli 2012, puncak konflik ini ditandai dengan adanya pembakaran besar-besaran terhadap rumah-rumah yang dihuni oleh kaum Rohingya serta penyerangan yang dilakukan oleh kedua belah pihak.

Upaya melarikan diri yang dilakukan oleh kaum Rohingya mulai dilakukan pada tahun 2017. Sebanyak 740.000 orang Rohingya telah meninggalkan rumah mereka. Pada tahun 2020 diperkirakan pengungsi Rohingya yang berada di Bangladesh mencapai 1 juta orang.

Di Bangladesh para pengungsi Rohingya hidup berdesakan di tempat penampungan Cox’s Bazar yang hanya terbuat dari terpal dan bambu. Kepadatan tempat pengungsian ini bahkan mencapai 40.000 orang per kilometer persegi.

Hal ini yang membuat kaum Rohingya berusaha untuk keluar dari Cox’s Bazar. Pada tahun 2022 tercatat sekitar 2.400 orang Rohingya melakukan percobaan melarikan diri melalui jalur laut ke Indonesia dan Malaysia. Menurut kelompok HAM, jumlah ini meningkat lima kali lipat lebih banyak dari tahun sebelumnya.

Pada Rabu, 21 Desember 2022 lalu kaum Rohingya mendarat di Aceh menggunakan kapal yang membawa 150 pengungsi Rohingya setelah dua hari dilaporkan hanyut di perairan India selama dua hari tanpa makan dan minum.

Ketika diselamatkan, kondisi pengungsi Rohingya terlihat kelaparan dan beberapa telah meninggal dunia. Diketahui bahwa mesin kapal telah mati yang membuat kapal tersebut hanya terombang-ambing di sekitar Kepulauan Andaman, India.

Berita terbaru, diberitakan bahwa kaum Rohingya juga telah mendarat lagi di Aceh pada Minggu 9 Januari 2023 dan membawa 183 orang pengungsi. Saat ini para pengungsi telah di tampung di pengungsian UPTD Dinas Sosial di Ladong yang nantinya akan dilanjutkan penangananya oleh BPBD, Imigrasi, dan Dinsos, serta instansi terkait lainnya. (*)  

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat