bdadinfo.com

Jejak Buya Hamka, Mengintip Warisan dan Perjalanan Sang Ulama Nasionalis di Tepian Danau Maninjau - News

Di rumah inilah sang ulama besar lahir, kini tempat ini difungsikan sebagai penyimpanan memorabilia semasa hidup. (Dok Indonesia Kaya.)

- Di tengah gemerlapnya perjalanan ke Danau Maninjau, tersembunyi sebuah warisan bersejarah yang tak bisa dilewatkan oleh siapa pun yang ingin meresapi esensi Minangkabau.

Di tepian danau yang tenang, terhampar Rumah Kelahiran Buya Hamka, seorang ulama besar yang meninggalkan jejak mendalam dalam pergerakan nasional dan sastra Indonesia.

Museum ini bukan sekadar tempat bersejarah biasa, tetapi juga wadah untuk merasakan semangat perjuangan sang ulama, baik sebagai cendekiawan, jurnalis, maupun politisi.

Baca Juga: Benarkah Batusangkar di Sumatera Barat Diberi Nama dari Sebuah Bukit?

Andaikata dinding-dinding museum ini bisa berbicara, mereka akan bercerita tentang Prof. Dr. Haji Abdul Malik Karim Amrullah, atau karib disapa Buya Hamka, yang lahir pada 17 Februari 1908.

Anak sulung dari tujuh bersaudara ini tumbuh dalam keluarga yang mendalami ajaran agama.

Ayahnya, Haji Rasul, adalah sosok yang membawa angin perubahan dalam dunia Islam Minangkabau, dan pengaruh karakter keislaman keluarga ini menjadi pondasi kuat bagi perjalanan Buya Hamka.

Baca Juga: Topah, Menyingkap Kisah Kitab Kuning yang Menceritakan Kejayaan Islam di Minangkabau

Sejak masa remaja, Buya Hamka telah mengalirkan minatnya dalam dunia sastra dan organisasi pergerakan.

Ketertarikannya dalam membaca merangkul wawasan yang jauh melebihi batas pemikiran generasinya.

Pada usia 16 tahun, tahun 1924, tekadnya membawanya merantau ke Jawa, tempat dia bergabung dengan Sarekat Islam dan Muhammadiyah, serta belajar dari para tokoh pergerakan seperti HOS Cokroaminoto.

Baca Juga: Mengenal Tol Kapal Betung, Jalan Tol yang Miliki Masa Konsensi 50 Tahun

Meski singkat, tahun-tahun di Jawa membentuk pandangan dan semangatnya. Setelahnya, Buya Hamka menyumbangkan kontribusi besar melalui tulisannya dalam dakwah dan pergerakan.

Tulisannya sering dilarang karena dianggap mengancam pemerintah kolonial Belanda. Bahkan pasca-kemerdekaan, semangatnya tak luntur.

Dia tetap aktif menulis, menghasilkan lebih dari 100 buku, di mana 28 di antaranya terpajang dengan anggun di Museum Rumah Kelahirannya.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat