bdadinfo.com

Lebaran Masa Kolonial Belanda, Tahun Baru Pribumi Hingga Dianggap Sumber Bencana Ekonomi - News

Ilustrasi lebaran pada masa kolonial Belanda (Youtube@AlbumsejarahIndonesia)

- Perayaan hari lebaran menjadi salah satu bentuk dari ritual kaagamaan umat muslim setelah melaksanakan puasa ramadhan sebulan sebelumnya.

Hari lebaran pun selalu digambarkan dengan suasana kehangatan, kegembiraan, dan keakraban yang terjalin dalam silahturahmi umat muslim satu dengan yang lainnya.

Perayaan hari lebaran di Indonesian tentu saja bukan muncul setelah merdeka, namun perayaan Idul Fitri ini sudah ada jauh sebelumnya. Lantas bagaimana perayaan lebaran pada masa kolonial Belanda dahulu?

Dilansir dari Album sejarah Indonesia, para pejabat kolonial Belanda menyebut perayaan lebaran atau hari raya Idul Fitri sebagai tahun barunya pribumi atau inlands nieuwjaar.

Baca Juga: Lagu Hari Lebaran Karya Ismail Marzuki, Religi, Kritik dan Hiburan dari Sang Maestro

Baca Juga: KPK Tegaskan Brigjen Endar Priantoro harus Tes Ulang jadi Direktur Penyelidikan

Mereka menganggap bahwa bulan Syawal tersebut seperti bulan Januari di kalender masehi. Karena mereka melihat pada hari raya idul fitri tersebut banyak pesta perayaan dimana-mana, banyak hidangan makanan, saling bertandang ke rumah kerabat, dan membeli pakaian baru serta hiburan lainnya.

“Dimana-mana perayaan pesta ini disertai dengan hidangan makanan yang khusus, saling bertandang yang dilakukan oleh kaum kerabat dan kenalan, pembelian pakaian baru serta berbagai bentuk hiburan yang menggembirakan,” tulis Kurnia dalam surat kepada direktur pemerintahan dalam negeri 20 April 1943, dilansir dari buku Nasihat-nasihan Snoucker Gongye Jilid 4.

Menurut Snouck dalam buku tersebut, kebiasaan mengunjungi kerabat dan menggunakan pakaian baru saat lebaran mirip dengan perayaan tahun baru di Eropa.

Oleh sabab itu, dengan gambaran yang seperti itu, kemudian kalangan bangsa eropa seringkali keliru menyebut, bahwa hari raya idul fitri merupakan ‘Tahun Baru Pribumi.’

Dari gambaran yang diceritakannya saat itu, ketika hari lebaran tiba, maka seluruh priyayi dan pamongpraja bumiputra ikut serta dalam melaksanakan sholat idul fitri ke masjid.

Dengan antusiasme dan pelaksanaan yang begitu luas saat itu, pemerintah kolonial Belanda merasa keberatan dengan perayaan hari raya idul fitri tersebut.

Sebagian dari mereka menganggap bahwa perayaan lebaran sangat banyak memakan biaya. Apalagi kalau perayaan tersebut dilaksanan secara resmi oleh pamongpraja bumiputra seperti Bupati.

Baca Juga: Diduga Alami Rem Blong, Sebuah Truk Kembali Hantam Rumah Warga di Panyalaian Tanah Datar

Baca Juga: Raih 2,6 Juta Pengguna Pada Maret 2023, Bukti MRT Jakarta Semakin Dipercaya Oleh Masyarakat

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat