bdadinfo.com

Perppu Cipta Kerja Terus Menjadi Polemik, Zainal Arifin Mochtar: Selain Berharap ke DPR Bisa Juga ke MK - News

Ilustrasi




- Perppu Cipta Kerja terus menuai kritik dan protes dari berbagai pihak.

Sebab pasalnya banyak pihak yang menilai bahwa penerbitan Perppu Cipta Kerja merupakan akal-akalan pemerintah.

Zainal Arifin Mochtar selaku pakar hukum tata negara dari UGM (Universitas Gajah Mada) termasuk orang yang juga menyoroti penerbitan Perppu tersebut dan setuju bahwa Perppu Cipta Kerja telah melanggar aturan serta konstitusi.

Perppu yang diterbitkan pada 30 Desember 2022 tersebut ditengarai sebagai pelanggaran terhadap konstitusi, sebab melanggar keputusan dari MK.

Mahkama Konstitusi pada 25 November 2021 di persidangan konstitusi melalui Putusan No. 91/PUU-XVIII/2020. Menyatakan bahwa UU Cipta Kerja Inkonstitusional Bersyarat. Alasannya adalah Majelis Hakim Konstitusi menilai UU Cipta Kerja cacat secara formil.

Zainal kemudian menjelaskan arti dari cacat formil tersebut, “pada putusan MK, MK telah menyatakan UU Cipta Kerja cacat secara formil. Alasannya karena dalam pembuatan UU Cipta Kerja, pembentuk UU tidak melibatkan partisipasi publik yang meaningful participation.”

Baca Juga: Melebihi Kelok 44 di Sumbar,Pegunungan Xinjiang Punya Kelok 600, Mimpi Buruk Bagi yang Mabuk Darat!

Zainal juga menyebutkan langkah pemerintah menerbitkan Perppu Cipta Kerja sebagai menghalalkan yang diharamkan. Sebab dalam putusan MK tersebut, MK memerintahkan untuk menangguhkan segala tindakan yang bersifat strategis, termasuk untuk menambahkan peraturan baru yang berkaitan dengan UU Cipta Kerja.

“Ini seakan-akan kayak mengangkangi putusan MK, kayak kemudian menipu putusan MK, dinyatakan salah di titik ini (oleh MK). Dia (Pemerintah) mencari jalan keluar lain yang kemudian seakan-akan membenarkan. Barang yang haram ini menjadi halal dengan cara mengeluarkan Perppu yang mana itu tidak memerlukan partisipasi publik,” ucap Zainal.

Terkait hal ini, melihat dari banyaknya respon masyarakat terhadap Perppu Cipta Kerja, Zainal memberikan saran untuk apa yang bisa dilakukan oleh masyarakat.

Pertama yaitu berharap kepada DPR, sekalipun, kata Zainal, ketika berhadapan dengan DPR hampir-hampir tidak bisa berharap dan sayangnya DPR termasuk yang paling ngebet dan mendorong penerbitan UU Cipta Kerja.

“Caranya ya, kita berharap kepada DPR. Karena seperti yang saya bilang tadi subjektifnya Presiden akan di objektifikasi oleh DPR walaupun, mohon maaf, kalau berhadapan dengan DPR ini agak jarang kita bisa berharap. Ini juara mengharap satu bukan juara harapan satu, tetapi juara mengharap satu kalau tiba-tiba DPR mau melawan ini ,” ucap Zainal.

“Apalagi perhitungan secara konfigurasi politik Pak Presiden menguasai 81 persen, belum lagi memang isi mengenai Undang-Undang Cipta Kerja dulu DPR termasuk yang ngebet atau sangat mendorong untuk hal itu,” lanjut Zaina

Alasan Zainal menyampaikan untuk berharap kepada DPR karena dalam proses legislasi biasa DPR memegang tanggungjawab objektivitas terhadap subjektivitas Presiden. Artinya untuk bisa menerbitkan suatu peraturan yang kemudian nantinya menjadi undang-undang harus melalui DPR terlebih dahulu.

Jika berharap kepada DPR sudah tidak bisa, Zainal menyarankan jalur kedua selain DPR, yaitu berharap kepada MK. Sebab MK yang memegang wewenang konstitusi.

Namun, Zainal juga menyampaikan bahwa MK saat ini sudah terdomestikasi dan perilakunya belakangan ini tidak bisa dianggap jempolan.

Selain itu, MK tidak bisa lagi diharapkan karena hakim-hakimnya sudah diancam oleh DPR.

“Mahkama Konstitusi bahayanya sekarang ini, saya pikir ada 2 hal. Satu MK-nya sendiri sudah tidak terlalu menarik dan sudah banyak terdomestikasi. Perilaku MK sendiri saat ini sudah tidak bisa dianggap jempolan,” ucap Zainal.

“Kedua, apa yang bisa kita harapkan ke MK ketika hakim-hakimnya sendiri diancam oleh DPR dan sudah dilakukan (ancamannya). Salah satu hakim MK tiba-tiba di tengah jalan diberhentikan dengan alasan membatalkan apa yang diinginkan oleh negara,” lanjut Zainal.

Zainal menilai bahwa hal seperti ini sungguh tidak masuk akal. Sebab, bagi Zainal, ketika rakyat protes terhadap suatu kebijakan kepada pemerintah lalu pemerintah menyuruh rakyat untuk menggugat ke MK, tetapi MK diancam oleh DPR untuk meloloskan keinginan mereka. Tentu saja tindakan rakyat tadi tidak ada artinya.

“Coba bayangkan ketika kita menggugat pemerintah kemudian pemerintah menyuruh kita ke MK, tetapi hakim MK-nya sudah diingatkan oleh DPR, ‘kamu jika tidak meloloskan keinginan kami, anda bisa kami jungkalkan. anda bisa kami tendang dari Mahkama Konstitusi’,” ucap Zainal.

“Contohnya sudah ada (apa yang dilakukan DPR) yaitu pada hakim Aswanto kala itu. Ini bukan hal yang main-main,” lanjut Zainal.

Zainal juga menyampaikan bahwa ancaman DPR kepada MK itu serius. Hal tersebut dibuktikan dari RUU yang sedang diusulkan DPR kepada pemerintah mengenai perubahan ketiga Undang-Undang Mahkama Konstitusi yang salah satu pasalnya yaitu pasal 28 berbicara mengenai bahwa hakim MK itu bisa dievaluasi dan diberhentikan di tengah jalan.

“Ini nggak main-main karena sekarang ada RUU yang saya kira publik harus tahu,” ucap Zainal.

“DPR sedang mengirimkan RUU kepada pemerintah dan sedang dibahaskan oleh pemerintah. RUU tersebut tentang perubahan ketiga Undang-Undang Mahkama Konstitusi yang persis salah satu pasalnya, pasal 28 berbicara mengenai bahwa hakim MK itu bisa dievaluasi di tengah jalan lalu bisa menjadi ajang untuk diberhentikan di tengah jalan karena hasil evaluasi itu,” lanjut Zainal.

Menurut Zainal, ancaman DPR bisa mencabut wewenang hakim MK memang bukan main-main. Bahkan DPR membuatkan aturan untuk bisa melakukan itu dan saat ini sedang dibahaskan oleh pemerintah. (*)

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat