bdadinfo.com

Bendi, Gerbang Kota Wisata yang Dimakan Zaman - News

Andi Gapuak dan bendinya. Foto: Vesco Davian

BUKITTINGGI, – Charles Theodore Deeleman, insinyur Belanda yang memperkenalkan alat angkut tradisional gerobak kuda di Indonesia. Dari namanya kita bisa sadar kalau kendaraan itu biasa disebut Delman. Namun di Sumatra Barat pada umumnya, masyarakat menyebutnya dengan “Bendi”.

Menyusuri jantung Ibu Kota Bukittinggi, kita masih dapat menemukan jejak-jejak peninggalan legenda transportasi ini yang masih beroperasi. Dimulai dari kawasan Jam Gadang, hingga Pasar Bawah Bukittinggi.

Baca Juga: Berkah Kusir Bendi, Ketika Wisatawan Berkunjung ke Jam Gadang

Namun, seakan dibunuh perlahan, perhatian pemerintah terhadap bendi sangat memprihatinkan. Dimulai dari ruang yang dipersempit dengan berbagai alasan, hingga aspirasi-aspirasi yang dianggap angin lalu.

Tidak dapat dipungkiri, bendi adalah gerbang wisata yang patut mendapat perhatian lebih dari Pemerintah Kota Bukittinggi. Pasalnya, dengan kusir bendi lah para wisatawan dapat berkomunikasi tentang lokasi wisata dan kuliner yang ada di Bukittinggi.

Baca Juga: Naik Bendi, Pasangan Zuldafri Darma-Sultani Mendaftar ke KPU Tanah Datar Besok

Seperti yang dikatakan Surya Guswandi, Wakil Ketua Persatuan Keluarga Bendi (PERKABI), wisatawan memposisikan kusir bendi seperti Tour Guide. Hanya wisatawan yang menganggap bendi sebagai ikon wisata Kota Bukittinggi.

“Wisatawan biasanya bertanya, dimana makan yang enak? Dimana objek wisata yang bagus? Biasanya bertanya lobang jepang karena tidak terlihat dari jalan,” tuturnya kepada , Rabu (27/10/2021).

Pria yang biasa dipanggil Andi Gapuak ini menyayangkan, pentingnya bendi tidak dirasakan oleh pemerintah kota. Minimnya perhatian membuat PERKABI seolah-olah berjalan sendiri. Sesalnya, saat mendekati Pemilihan Umum, semua yang memiliki kepentingan berlomba-lomba untuk menarik simpati kusir bendi.

“Kalau sudah mau Pemilu, semua mendekati bendi, sekarang sudah duduk, jangan kan dia yang menemui, kita ingin menagih janji saja tidak bisa,” ujarnya.

Modenisasi membuat jeritan kusir bendi makin lantang terdengar, mulai dari maraknya pertumbuhan ojek berbasis aplikasi, hingga lahan parkir mereka yang mulai dihapuskan pemerintah.

“Di Pasa Ateh, parkiran kami sudah diisi mobil, padahal untuk mobil sudah ada lahannya sendiri. Di Pasar Bawah yang orang-orang menyebutnya Pasa Bendi, kini sudah dipadati parkiran sepeda motor. Padahal itu harusnya lahan kami. Kami orang-orang kecil merasa dibodoh-bodohi penguasa,” kata Andi.

Andi bercerita, kini dari 210 bendi yang terdaftar di Bukittinggi, hanya 60-80 yang sanggup beroperasi. Biaya perawatan dan pakan kuda menjadi beban dari kusir bendi. Ditambah, saat Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM), objek wisata di Bukittinggi ditutup pemerintah. Wisatawan tidak diizikan masuk kota. Kusir bendilah yang menjadi korban.

“Waktu PPKM, kusir bendi dari pagi sudah menyiapkan bendinya. Mulai dari memandikan kuda hingga membersihkan bendi. tetapi sampai sore tidak ada yang memesan. Jangankan untuk beli susu anak, untuk makan saja tidak ada uang,” ujarnya.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat