bdadinfo.com

Inilah Beberapa Metode Penetapan Awal Ramadhan - News

Ilustrasi





- Penentuan puasa awal Ramadhan ditentukan melalui dua metode. Di Indonesia, dua metode yang dimaksud tersebut adalah metode ikmanur rukyat dan hisab hakiki wujudul hilal. Hal ini dilandasi oleh salah satu hadits yang diriwayatkan dari Rasulullah SAW. Dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda,

صُوْمُوْا لِرُؤْيَتِهِ وَ أَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوْا شَعْبَانَ ثَلاَثِيْنَ

Artinya: "Berpuasalah kalian dengan melihat hilal dan berbukalah (mengakhiri puasa) dengan melihat hilal. Bila ia tidak tampak olehmu, maka sempurnakan hitungan Sya'ban menjadi 30 hari," (HR Bukhari dan Muslim).

Metode ini menjadi salah satu sebab adanya perbedaan penetapan awal Ramadhan di Indonesia. Oleh karena itu, berikut ini beberapa metode penetapan puasa awal Ramadhan.

Baca Juga: Penggila Marvel Merapat! Honda Rilis Skuter Matic Honda ADV 160cc Edisi Captain America dan Iron Man

1. Metode Ikmanur Rukyat

Secara bahasa, rukyat bermakna melihat dengan mata dan hilal berarti bulan sabit. Penentuan puasa awal Ramadhan dengan metode ini artinya didasarkan pada penglihatan dan pengamatan bulan secara langsung yang berbentuk sabit atau belum terlihat bulat dari bumi. Penentuan awal Ramadhan dengan metode yang disebut dengan rukyatul hilal ini merupakan cara yang disyariatkan dalam Islam. Sebagaimana Allah SWT pernah berfirman dalam surah Al Baqarah ayat 185,

فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ

Artinya: "Karena itu, barangsiapa di antara kamu menyaksikan (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan tersebut."

Bulan yang dimaksud adalah bulan sabit muda sangat tipis pada fase awal bulan baru. Bulan inilah yang disebut dengan hilal.

"Metodologi penentuan awal bulan Qamariah, baik untuk menandai permulaan Ramadhan, Syawal dan bulan lainnya harus didasarkan pada penglihatan bulan secara fisik (rukyatul hilal bil fi'ly)," tulis keterangan dari laman resmi Nahdlatul Ulama (NU).

Pengamatan hilal tersebut dilakukan pada hari ke-29 atau malam ke-30, dari bulan yang sedang berjalan. Bila malam tersebut hilal sudah terlihat maka malam itu pula sudah dimulai bulan baru. Sebaliknya, jika hilal tidak terlihat maka malam itu adalah tanggal 30 bulan yang sedang berjalan.

Baca Juga: Membanggakan, Guru SMAN 1 Tarusan Pesisir Selatan Terima Penghargaan Kemendikbudristek

Malam berikutnya dimulai tanggal satu bagi bulan baru atas dasar istikmal (digenapkan). Menurut menurut Penyuluh Agama Nandang Syukur dalam laman Kemenag Jawa Barat, hal ini pernah diterapkan oleh Rasulullah SAW.

إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ ، لاَ نَكْتُبُ وَلاَ نَحْسِبُ ,الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا

Artinya: "Sesungguhnya kami adalah umat ummiyah. Kami tidak mengenal kitabah (tulis-menulis) dan tidak pula mengenal hisab. Bulan itu seperti ini (beliau berisyarat dengan bilangan 29) dan seperti ini (beliau berisyarat dengan bilangan 30)." (HR Bukhari dan Muslim)

Untuk melihat hilal, biasanya posisi bulan harus berada dua derajat di atas matahari. Syarat lainnya adalah jarak elongasi dari matahari ke arah kanan atau kiri. Semakin lebar maka makin mudah melihat hilal langsung.

2. Metode Hisab Wujudul Hilal

Metode penentuan awal puasa Ramadhan selanjutnya adalah hisab hakiki wujudul hilal. Metode hisab ini merupakan metode penentuan awal Ramadhan melalui perhitungan astronomis. Metode ini meyakini adanya hilal meskipun tidak terlihat dengan mata telanjang selama memenuhi kriteria tertentu. Tiga syarat kriteria dalam penentuan hilal dengan metode ini di antaranya:

·         Telah terjadi ijtimak (konjungsi).

·         Ijtimak (konjungsi) itu terjadi sebelum matahari terbenam.

·         Pada saat terbenamnya matahari piringan atas bulan berada di atas ufuk (bulan baru telah wujud).

Semua kriteria tersebut harus terpenuhi untuk menandakan dimulainya bulan baru. Apabila ada satu yang tidak terpenuhi maka belum masuk bulan baru. Dengan catatan, bila menggunakan metode hisab hakiki kriteria ijtimak sebelum gurub (al-ijtima' qabla al-gurub), tidak perlu lagi mempertimbangkan keberadaan bulan saat matahari terbenam di atas ufuk atau bukan.

Contohnya, apabila ijtimak terjadi sebelum matahari tenggelam maka malam itu dan esok harinya sudah dapat dikatakan sebagai bulan baru. Sebaliknya, jika ijtimak terjadi sesudah matahari terbenam maka malam itu dan esok harinya masih merupakan hari penggenap bulan.

Dengan dasar inilah para ulama yang paham perhitungan hisab mengumpulkan pola peredaran bumi, bulan, dan matahari. Pola tersebut menjadi dasar perhitungan penentuan awal Ramadhan dan Idul Fitri. Sebagai informasi tambahan, PP Muhammadiyah secara resmi telah mengeluarkan hasil penentuan 1 Ramadhan 1444 H dalam Maklumat Pimpinan Pusat Muhammadiyah Penetapan Hasil Hisab, Ramadan, Syawal, dan Zulhijah 1444 H.

Hasilnya dibacakan oleh Sekretaris PP Muhammadiyah M. Sayuti yang menyatakan puasa Ramadan 2023 dimulai pada 23 Maret 2023. Adapun pemerintah Indonesia melalui Kemenag menggabungkan kedua metode tersebut sesuai dengan Fatwa MUI Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penetapan Awal Ramadan, Syawal, dan Zulhijah.

Ditambah lagi, pemerintah mulai mengadopsi kriteria baru dari Menteri Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura (MABIMS) 2021. Sebab itu, untuk penetapan puasa awal Ramadhan, masyarakat Indonesia akan tetap diminta menanti hasil sidang isbat yang didasarkan dari perhitungan hisab dan hilal. Hasil hisab sebagai informasi awal yang kemudian dikonfirmasi melalui pemantauan hilal di lapangan. ****

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat