- Pada masa lalu dan sejak berabad-abad sebelumhya, wilayah Sumatera bagian utara telah menjadi rantau tradisional bagi kaum Minangkabau.
Perjalanan migrasi mereka diawali dari Sibolga, Barus, Tapaktuan, hingga ke Meulaboh sejak abad ke-14.
Memang diketahui bahwa di wilayah ini, Bahasa Minangkabau — yang dikenal dengan Bahasa Pesisir di Sibolga atau Bahasa Anak Jamee di Meulaboh – telah lama mengakar dan menjadi bahasa pergaulan (lingua franca).
Sementara, di pesisir timur, tepatnya di kawasan Batubara dan Asahan, sejak abad ke-17 telah berkumpul orang-orang kaya Minangkabau yang melakukan perdagangan lintas selat.
Mereka sebagian besar merupakan nakhoda pemilik kapal, yang berbisnis hasil-hasil bumi untuk pasaran Penang dan Singapura.
Meski sebagian wilayah Sumatera Utara telah lama menjadi koloni dagang mereka, namun di Kota Medan kehadiran etnis Minangkabau relatif baru.
Sejarah mencatat baru di akhir abad ke-19 banyak perantau Minang yang bermigrasi ke Medan. Kedatangan mereka kesini mayoritas hendak menjadi pedagang.
Hal ini bertolak belakang dengan kehadiran orang-orang China, Jawa, dan Tamil, yang kebanyakan sebagai kuli kontrak.
Kendati pada mulanya jumlah perantau Minang relatif kecil, namun dalam tempo singkat jumlah mereka telah mengubah komposisi masyarakat Medan.
Berdasarkan hasil volksteling tahun 1930, terungkap bahwa persentase etnis Minang di Medan sekitar 7,29% dari keseluruhan penduduk kota.
Jumlah ini terus meningkat hingga mencapai 10,93% di tahun 1980. Meski mengalami penurunan ke angka 8,6% di tahun 2000, namun jumlah mereka tetap lebih besar ketimbang etnis Melayu (6,59%) yang menjadi penduduk asli kota ini.