- Memang, salah satu alasan kuat Presiden Joko Widodo memilih Provinsi Kalimantan Timur sebagai Ibu Kota Indonesia baru adalah minimnya risiko bencana alam: banjir, tsunami, kebakaran hutan, erupsi gunung merapi, maupun tanah longsor.
Namun sesungguhnya, ada bencana berlarut di Kalimantan Timur yang harus diselesaikan cepat oleh pemerintah terkait pemindahan ibu kota: korban jiwa di lubang tambang batubara yang tidak direklamasi. Jumlahnya terus bertambah, sudah 36 jiwa melayang.
Kamis, 22 Agustus 2019, lubang tambang yang diduga milik PT. Singlurus Pratama, di Kabupaten Kutai Kartanegara, meminta korban jiwa. Hendrik Kristiawan [25], putra pertama Suhendar dan Triseni, warga Desa Beringin Agung, Kecamatan Samboja, tewas tenggelam.
Kutai Kartanegara adalah lokasi ibu kota negara baru yang mulai dipersiapkan pembangunannya.
Ayah korban, Suhendar mengatakan, almarhum selama ini berperan sebagai tulang punggung keluarga. “Hendrik anak baik, membantu menyelesaikan doran [pegangan cangkul] dan kasut di waktu senggang. Dia jarang masuk kerja bila membantu orangtua,” jelasnya baru-baru ini.
Suhendar berharap, lubang tambang segera ditutup agar tidak ada korban berikutnya. “Kini adiknya, yang kedua, menggantikan Hendrik menanggung ekonomi keluarga,” ujarnya.
Dalam catatan Jaringan Advokasi Tambang [Jatam] Kalimantan Timur [Kaltim], Hendrik korban lubang tambang ke-36. Berdasarkan keterangan saksi mata, Hendrik tewas tenggelam sekitar pukul 19.00 Wita, jasadnya ditemukan pada 22.00 Wita, dan dievakuasi ke RSUD ABADI Kecamatan Samboja.
Berdasarkan titik koordinat [S 00° 57’04.8″ E 117° 05’01.6″], lokasi kejadian berada di konsesi Perusahaan tambang Singlurus Pratama. Perusahaan ini memiliki konsesi seluas 24.760 hektar dari Kementerian ESDM.
Jarak rumah terdekat dengan lubang sekitar 770 meter. Di lokasi tidak ada papan peringatan, pagar pembatas, serta pos dan petugas pengaman.
“Kondisi ini menyalahi Keputusan Menteri ESDM Nomor 55/k/26/mpe/1995. Singlurus Pratama harus bertanggung jawab secara hukum, atas kematian korban,” kata Dinamisator Jatam Kaltim, Pradarma Rupang, akhir Agustus 2019.
Jatam menilai, perusahaan lalai, melawan Pasal 359 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Pasal 112 UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pemerintah juga dianggap tidak peduli hingga menyebabkan kematian warga.