bdadinfo.com

Didik J Rachbini: Uang Kuliah Mahal dan Politik Pendidikan Melanggar Konstitusi, Pendidikan Tinggi Tidak Lebih Dari Pasar "Ada Uang Ada Barang" - News

Prof. Didik J Rachbini, MSc. PhD. (Rektor Universitas Paramadina).

- UKT mahal karena alokasi anggaran pendidikan tinggi di Kemendikbud (UI, ITB, UNDIP, UGM, dan lainnya) hanya kebagian 1,1 persen atau Rp7 triliun dari total anggaran 20 persen yang harus dialokasikan kepada sektor pendidikan secara keseluruhan.

Perguruan Tinggi Negeri harus mencari anggaran sendiri, dengan cara mengeruk uang dari mahasiswa. Sehingga menyebabkan pendidikan tinggi tidak lebih sebagai pasar "ada uang ada barang".

Perguruan tinggi negeri akhirnya menyingkirkan kualitas dan tugasnya untuk membangun daya saing bangsa, tertinggal dalam riset, dan buntu untuk mencari inovasi teknologi.

Baca Juga: Kunci Jawaban Agama Hindu Kelas 2 Halaman 39-42 Penilaian Bab 1 Kurikulum Merdeka: Tokoh Dharma dalam Mahabharata

Kemudian mereka menumpuk mahasiswa dan melakukan pola pengajaran seperti kursus-kursus yang banyak ditemukan di kota besar Indonesia.

Dilansir dari berbagai sumber, pada 22 Juni 2024, setidaknya terdapat 10-20 universitas utama di Indonesia hanya menjadi universitas kelas underdog di Asia, apalagi di dunia. Tidak layak jika dibandingkan dengan NUS di Singapura (rangking 8 dunia) atau dengan Malaysia (UKM) saja ketinggalan jauh.

Dosen dan mahasiswa Indonesia seharusnya tahu bahwa alokasi pendidikan tinggi memang tidak mendapat perhatian yang memadai, bisa dikatakan tidak sama sekali diperhatikan dengan baik sebagaimana amanat konstitusi Pasal 31 UUD 1945.

Apalagi dibandingkan dengan perguruan tinggi swasta, bukan hanya tidak diperhatikan tetapi justru dibedakan statusnya, jadi anak tiri dan perlakuan semacam rasisme pendidikan tinggi.

Artinya yaitu terdapat ribuan perguruan tinggi yang didirikan atas inisiatif masyarakat dan tanpa dukungan dana negara, tidak mendapat anggaran kecuali anggaran pengabdian masyarakat atau penelitian yang tidak pasti, kadang ada dan tidak.

Bentuk politik pendidikan tinggi yang anomalia dan menyimpang, karena setiap mahasiswa di kementerian seperti ada mark up karena ada rasio biaya APBN per mahasiswa di kementrian-kementerian ini jauh lebih tinggi, jika dibandingkan dengan perguruan tinggi negeri yang berada di naungan Kemendikbud.

Baca Juga: Keren! Indonesia Unjuk Gigi di GSE Australia 2024, Indonesia Berhasil Mencatatkan Potensi Transaksi Sebesar Rp51,2 Miliar

Diperkirakan ada indikasi sebesar Rp60 juta per mahasiswa swasta. Sementara untuk perguruan tinggi negeri di bawah Kemendikbud hanya Rp10 juta atau Rp15 juta per mahasiswa.

Sesuai dengan amanat yang tercantum pada Pasal 31 UUD 1945, setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan yang adil. Sehingga untuk mendapatkan pendidikan yang diinginkan amanat konstitusi dengan tegas memandatkan pemerintah sekurang-kurangnya 20 persen dialokasikan untuk pendidikan di Indonesia.

Namun faktanya, uang kuliah mahal, protes mahasiswa Indonesia, kemudian perguruan tinggi tidak mendapat alokasi yang memadai, terdapat indikasi mark up biaya pendidikan tinggi di luar Kemendikbud, dan masalah alokasi 20 persen ini menandakan adanya penyimpangan politik pendidikan.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat