bdadinfo.com

Ini Alasan Budaya Minangkabau Kental dengan Nuansa Islami, Berawal dari Perjuangan Melawan Penjajah - News

Alasan Budaya Minangkabau Kental Dengan Nuansa Islami   (CRCS UGM)





- Budaya Minangkabau sejak lama sudah sangat kental dengan nuansa islami. Berbagai tradisi atau kebudayaan yang dilakukan masyarakat Minang selalu memiliki identitas keislaman.

Bahkan ada beberapa pandangan bahwa Minangkabau merupakan bagian dari islam itu sendiri.

Menurut Data dari Kementerian Agama RI pada tahun 2022, Sumatera Barat memiliki penduduk beragama Islam hingga 97,9 persen.

Baca Juga: Mengenang Lisa Tirto Utomo dengan Pelestarian Rumah Adat Batak, Dayak, Minangkabau Hingga Wae Rebo dan Papua

Persentase tersebut jika diakumulasi akan sebesar 5.528.423 orang dari jumlah penduduk Provinsi Sumatera Barat yang berjumlah 5.664.988 jiwa.

Kentalnya Islam di Sumatera Barat juga tergambar dari jumlah Masjid dan Mushola di daerah tersebut.

Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2021 mencatat bahwa terdapat 5321 Masjid dan 12198 Mushola yang ada di Sumatera Barat.

Baca Juga: Dipandu DPK, Dua Warga Belanda Temukan Makam Nenek dan Jejak Sejarah Leluhur di Padang Panjang

Lantas, mengapa budaya Minangkabau sangat kental dengan nuansa islami? berikut penjelasannya.

Agama Islam pertama kali masuk ke Sumatera Barat pada abad ke-7 melalui masyarakat Arab yang berdagang di pesisir timur pulau Sumatera pada tahun 674.

Dengan perlahan, agama Islam tersebar ke dataran tinggi Minangkabau atau Sumatra Barat sekarang melalui aliran sungai yang mengalir dari timur pulau, seperti Batang Hari.

Baca Juga: Wali Kota Pariaman Sampaikan Nota Penjelasan Rancangan KUA dan PPAS Tahun 2024

Perkembangan agama Islam di Sumatera Barat semakin pesat ketika Sultan Alauddin Riayat Syah al-Kahar memerintah Kesultanan Aceh dan berhasil memperluas wilayahnya hingga hampir ke seluruh pantai barat Sumatera.

Hal ini menyebabkan pada abad ke-13, Islam mulai masuk ke daerah seperti Tiku, Pariaman, Air Bangis, dan wilayah pesisir lainnya di Sumatera Barat.

Agama Islam kemudian juga menyebar ke daerah pedalaman atau dataran tinggi Minangkabau yang disebut "darek".

Baca Juga: Bukan Sekedar Makanan, Rendang Mengandung Makna Filosofis Penting Bagi Masyarakat Minangkabau

Pada saat itu, kerajaan Pagaruyung berdiri di kawasan darek, dan pada abad ke-14, kerajaan ini mulai menerima pengaruh Islam.

Sebelum Islam diterima secara luas, terdapat beberapa bukti arkeologis yang menunjukkan bahwa masyarakat di sekitar pusat kerajaan sebelum abad ke-7 pernah menganut agama Buddha dan Hindu.

Selain itu, Surau juga berperan sangat penting dalam penyebaran dakwah Islam di Sumatera Barat.

Baca Juga: Deretan Pejabat Terkaya di Sumatera Barat: Dosen hingga Pengusaha dengan Penghasilan Miliaran Rupiah

Surau adalah sebuah lembaga pendidikan tradisional dalam agama Islam yang berasal dari wilayah Sumatera Barat dan Selatan.

Tempat ini digunakan sebagai gedung pertemuan untuk berbagai kegiatan keagamaan, budaya, dan perayaan, serupa dengan Zawiya Arab.

Tradisi surau sudah ada sebelum pendidikan Islam formal diperkenalkan. Pendidikan formal menggunakan teori dan metode ortodoks yang datang dari luar negeri.

Baca Juga: Dari Gemini hingga Leo, Ini 4 Zodiak yang Selalu Membantu Saudaranya untuk Melupakan Patah Hati di Umur Remaja

Sejak abad ke-16, agama Islam telah menjadi keyakinan utama bagi masyarakat Minangkabau, baik yang tinggal di Sumatera Barat maupun di luar wilayah tersebut.

Jika ada seseorang yang meninggalkan agama Islam, mereka dianggap juga meninggalkan identitas sebagai bagian dari masyarakat Minangkabau.

Namun, pada akhir abad ke-17, beberapa orang terutama di lingkungan kerajaan masih belum sepenuhnya mengikuti ajaran Islam secara tepat dan bahkan melakukan perbuatan yang bertentangan dengan ajaran agama tersebut.

Melihat situasi ini, kelompok ulama yang dikenal sebagai Kaum Padri berusaha untuk mengajak masyarakat sekitar kerajaan Pagaruyung, terutama Raja Pagaruyung, untuk kembali ke ajaran Islam yang benar.

Baca Juga: Mengenal Yang Chil-seong, Oppa Korea yang Berjuang Demi Kemerdekaan Indonesia

Namun, upaya perundingan pada tahun 1803 ini malah berakhir dalam konflik yang dikenal sebagai Perang Padri.

Perang Padri terjadi antara dua kelompok masyarakat Minang, yaitu Kaum Padri dan Kaum Adat.

Setelah dua dekade pertikaian, pada tahun 1833, Kaum Adat menyesali keputusan mereka yang sebelumnya telah mengundang campur tangan Belanda ke wilayah mereka.

Tindakan ini tidak hanya menyebabkan kerugian material dan korban jiwa, tetapi juga mengakibatkan runtuhnya kekuasaan Pagaruyung.

Baca Juga: Kuliner Unik dari Ranah Minang, Dadiah, Fermentasi Susu Kerbau Khas Luhak Nan Tigo di Bukittinggi

Pada saat itu, Kaum Padri di bawah kepemimpinan Tuanku Imam Bonjol mulai mendekati Kaum Adat, dan kedua pihak sepakat untuk bersatu melawan kehadiran Belanda.

Selain itu, mereka juga mencapai kesepakatan yang dikenal sebagai "Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah" (Adat berlandaskan ajaran Islam, ajaran Islam berlandaskan Al-Qur'an).

Demikian alasan mengapa Budaya Minangkabau sangat kental dengan nuansa islami.***

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat