bdadinfo.com

Gaya Bicara Megawati saat Berpidato, Mirip Soekarno, Oh Ini Sebabnya - News

Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarno Putri. (Tangkapan layar Youtube)

- Megawati tengah menjadi sorotan masyarakat kembali pasca pidatonya dalam HUT PDIP yang ke 50 tahun.
 
Sosok Megawati, wanita berusia 76 tahun itu memang sudah familiar dalam kancah perpolitikan Indonesia yakni dalam perannya mendirikan PDIP dan pernah menjadi menjadi presiden dan wakil presiden RI.
 
Megawati tercatat pernah menjadi wakil presiden Presiden Gus Dur yakni pada tahun 1999-2001 kemudian diangkat menjadi presiden kelima menggantikan Gus Dur yang telah dimakzulkan pada tahun 2001-2004. Atas pencapaian itu, Megawati tercatat sebagai presiden RI perempuan pertama dan satu-satunya hingga saat ini.
 
 
 
Karirnya dalam mendirikan dan mengembangkan partai politik juga sangat cemerlang. Partai bantengnya pun merupakan salah satu partai terkuat di Indonesia. Tak hanya itu, Megawati sejak tahun 1999 hingga saat ini diketahui masih menjabat sebagai ketua umum partai PDIP atau selama 23 tahun lamanya.
 
Selalu terdapat hal yang menuai pro dan kontra dalam pidatonya, salah satunya tentang ucapan Megawati soal hak preogratifnya ketika ditanya siapa capres yang akan dicalonkan PDIP dalan Pilpres 2024 nanti. Serangkaian pihak pun mencoba untuk menafsirkan apa maksud ucapan Megawati dalam pidato HUT PDIP itu yang banyak diselingi dengan guyonan dan makna tersirat.
 
Namun satu hal yang juga menarik dari Megawati adalah tentang gaya bicaranya yang lantang dan berapi-api. Hal itu sekilas mengingatkan kita akan sosok Soekarno, presiden pertama RI yang sekaligus merupakan ayah kandung Megawati Soekarno Putri.
 
 
 
Di mana gaya bicara Soekarno kala itu yang lantang dan berapi-api diyakini mampu mengobarkan semangat juang bangsa untuk merdeka. Pengertian gaya bahasa sendiri dikutip dari Keraf (2007) dalam Kusno (2015) adalah cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis (pemakai bahasa). Lebih lanjut gaya bahasa itu sendiri dapat dibedakan berdasarkan tolok ukurnya yakni berdasarkan pilihan kata yang digunakan, nada yang terkandung dalam wacana, struktur kalimat, dan langsung tidaknya makna.
 
Gaya bahasa berdasarkan pilihan kata maksudnya adalah penggunaan kata yang disesuaikan dengan kondisi atau situasi tertentu, contohnya adalah gaya bahasa resmi, gaya bahasa tidak resmi, dan gaya bahasa percakapan.
 
Kemudian gaya bahasa berdasarkan nada yang digunakan yakqni berupa sugesti yang dipancarkan dari kata-kata yang terdapat dalam sebuah wacana, yang dibagi menjadi gaya yang sederhana, gaya mulia dan bertenaga, dan gaya menengah.
 
Berikutnya gaya bahasa berdasarkan struktur kalimat yang menekankan pada unsur kalimat, misalnya klimaks, antiklimaks, pararelisme, antitesis, dan repetisi. Yang terakhir gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna maksudnya apakah acuan yang dipakai masih mempertahankan makna denotatifnya (lugas/objektif) atau sudah ada penyimpangan contohnya gaya bahasa retoris dan gaya bahasa kiasan.
 
Namun apakah gaya bahasa dalam berpidato antara Soekarno dan Megawati benar memiliki kesamaan? Penelitian yang dilakukan oleh Purwanto (2010) dalam Kusno (2015) menyimpulkan bahwa gaya bahasa Soekarno ketika berpidato memiliki ciri khas dalam hal: diksi dan gaya bahasa seperti penggunaan ungkapan dan simbol yang tepat dan bervariatif, pemakaian berbagai istilah dari bahasa asing, dan berbagai ungkapan yang sengaja dilebih-lebihkan untuk menguatkan makna serta penggunaan gaya mulia dan bertenaga untuk menyampaikan nilai-nilai mulia, seperti kemerdekaan dan dasar negara. Di mana gaya bahasa yang dominan digunakan adalah repetisi, antitesis, paralelisme, hiperbola, dan retoris.
 
Gaya bahasa itu juga hampir mirip kedapatan pada sosok Megawati yang dalam beberapa pidato politiknya sebagai ketua umum partai juga menggunakan istilah dengan gaya bicara yang berapi-api. Sebagaimana penelitian Kusno (2015) yang mengindikasikan gaya bahasa Megawati dalam berpidato yang mengandung unsur gaya bahasa resmi, menggunakan istilah-istilah politik di kalangan PDIP (petugas partai, wong cilik, penumpang gelap, revolusi mental, kontrak merah putih, berdikari dan sebagainya), penggunaan bahasa asing, gaya mulia dan bertenaga (nada suara tinggi, rendah), gaya bahasa klimaks, antiklimaks, hiperbola, repetisi, kiasan, dan humor.
 
Penggunaan gaya bahasa tersebut sebenarnya bukanlah hal asing dilakukan oleh seorang pemimpin misalnya ketua partai seperti Megawati, yang diantaranya berfungsi untuk meningkatkan kewibawaan dan menggalang kobaran semangat dari para kader partai. (*)

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat